Sabtu, 29 Januari 2011

Jangan menyesali apa yang sudah terjadi

Suatu hari seorang Guru sedang berjalan-jalan di sebuah taman dan bertemu dengan anak muda yang tampak murung. Guru mendekati anak muda itu dan berkata, "Hari ini indah sekali bukan? Tentu amat sulit untuk bersikap serius di hari yang cerah ini."
"Oh ya? Saya malah tidak menyadarinya," sahut anak muda itu. Ia lalu melihat ke sekeliling. Matanya memandang ke kejauhan, tetapi pikirannya sedang berada di tempat lain.
Guru mengamati anak muda itu dengan sungguh-sungguh. Lalu ia menawarkan, "Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?"
Lalu, mereka berdua berjalan-jalan hingga sampai ke sebuah danau yang berair tenang, dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang, daun-daunnya tampak kuning keemas-emasan pertanda musim gugur telah tiba. "Mari kita duduk di sini sejenak," ajak sang Guru. Anak muda itu menuruti ajakan sang Guru. Mereka lalu duduk berdamping-dampingan.
"Nah, sekarang carilah sebuah kerikil kecil," pinta sang Guru.
"Apa?"
"Sebuah batu kerikil kecil. Carikan untukku lalu lemparkan ke tengah-tengah telaga itu."
Anak muda itu menyisir tanah, menjumput segenggam batu kecil lalu melemparkannya jauh-jauh ke tengah telaga.
"Nah, apa yang kau lihat sekarang?," tanya sang Guru.
Anak muda itu memicingkan matanya tajam-tajam seolah tak ingin kehilangan satu kesempatan pun. Katanya, "Aku melihat riak-riak gelombang air."
"Dari mana datangnya riak-riak gelombang air itu?"
"Dari batu-batu kecil yang aku lemparkan ke tengah telaga itu, Guru."
"Sekarang, coba masukkan kedua belah tanganmu ke air dan hentikan laju riak-riak gelombang air itu," pinta sang Guru.
Tidak sepenuhnya paham apa yang dimaksudkan sang Guru, namun anak muda itu tetap saja mencelupkan tangannya ke dalam air untuk menghentikan laju riak air. Tetapi apa yang dilakukannya hanya menimbulkan lebih banyak riak-riak gelombang air saja. Anak muda itu menjadi benar-benar heran. Bagaimana ini? Apakah sang Guru telah salah memberinya petunjuk? Anak muda itu terlolong-lolong keheranan memandangi sang Guru dan perbuatannya.


"Apakah kau bisa menghentikan riak-riak air itu dengan tanganmu?" tanya sang Guru.
"Tentu saja tidak. Malah kini lebih banyak lagi riak-riak air yang timbul!"
"Lalu, bisakah kau menghentikan riak-riak gelombang air itu?"
"Tidak Guru. Bukankah seperti aku katakan tadi, apa yang aku lakukan malah menciptakan lebih banyak riak-riak gelombang air."
"Bagaimana jadinya bila kau tadi berusaha menangkap batu-batu yang kau lemparkan sebelum ia jatuh ke dalam air?" Sang Guru kini tersenyum dengan senyum yang mengobati kekecewaan anak muda itu. "Lain kali bila kau merasa tidak bahagia dalam hidupmu, tangkaplah batu-batu itu sebelum ia menyentuh permukaan air. Jangan habiskan waktumu untuk berusaha menarik apa yang telah kau lakukan. Lebih baik kau mengubah apa yang akan kau lakukan sebelum benar-benar kau lakukan." Sang Guru menatap wajah anak muda itu.
"Tapi Guru, bagaimana aku bisa tahu apa yang akan aku lakukan sebelum aku melakukannya?"
"Bertanggungjawablah atas hidupmu sendiri. Bila kau berkonsultasi dengan dokter yang bertugas menyembuhkan penyakit, maka tanyakan padanya agar kau paham apa-apa yang menyebabkan penyakit itu. Jangan sekedar berusaha menghentikan riak-riak gelombang air saja. Teruslah bertanya dan mencari."
Anak muda itu tercenung sejenak. "Tetapi, Guru, aku mengikutimu untuk menemukan jawaban darimu. Apakah anda mengatakan bahwa aku sesunggunya tahu akan jawaban atas pertanyaanku sendiri?"
"Mungkin kau tak tahu jawaban yang benar sekarang, tetapi jika kau mengajukan pertanyaan yang tepat, kau akan menemukan jawaban itu sendiri."
"Lalu, apa pertanyaan yang tepat itu, Guru?"
"Tidak ada pertanyaan yang salah. Yang ada hanya pertanyaan yang tidak ditanyakan. Bila kita tidak bertanya, takkan ada jawaban. Dan, tanggung jawabmu adalah bertanya. Tak yang bisa melakukan itu kecuali dirimu sendiri."